Kuliah Umum JAMDATUN di FH Unhas Bongkar Tiga Rezim dan Peran Kejaksaan dalam Perampasan Aset

Kuliah Umum JAMDATUN di FH Unhas Bongkar Tiga Rezim dan Peran Kejaksaan dalam Perampasan Aset

KEJATI SULSEL, Makassar– Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) Kejaksaan RI, Prof. (H.C) Dr. R. Narendra Jatna, S.H., LL.M., memberikan kuliah umum yang sangat berbobot di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas) pada hari Jumat, 14 November 2025. Mengusung tema krusial "Perampasan Aset," kegiatan ini dihadiri langsung oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel, Dr. Didik Farkhan Alisyahdi, S.H., M.H., serta Dekan, Wakil Dekan, para dosen, dan ratusan mahasiswa FH Unhas.

Acara diawali dengan sambutan hangat oleh Dekan FH Unhas, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., yang menyampaikan apresiasi tinggi atas kolaborasi ini. Prof. Hamzah Halim menegaskan pentingnya sinergi antara akademisi dan praktisi hukum.

“Kami sangat berterima kasih kepada Bapak JAMDATUN, Prof. Narendra Jatna, atas kesediaan beliau berbagi wawasan yang sangat mendalam dan kritis mengenai isu perampasan aset. Kuliah umum ini merupakan sinergi yang luar biasa antara institusi penegak hukum dan akademisi, sekaligus membekali mahasiswa kami dengan pemahaman komprehensif tentang peran strategis Kejaksaan dalam menjaga integritas keuangan negara," ujar Prof. Hamzah Halim.

Dalam pemaparannya, Prof. Narendra Jatna membedah secara komprehensif terkait perampasan aset. Jamdatun menjelaskan bahwa terdapat tiga rezim perampasan aset, yaitu Pidana, Administrasi, dan Perdata. Perampasan Aset Pidana mencakup pelaksanaan sita eksekusi terhadap aset terpidana jika denda atau kerugian negara tidak dibayarkan. 

Sementara itu, Perampasan Aset Administratif kini menjadi objek gugatan TUN (Tata Usaha Negara), dan Perampasan Aset Perdata dikenal sebagai Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture (perampasan aset tanpa putusan pidana).

“Secara doktrin, penting bagi kita untuk memahami bahwa perampasan aset tidak hanya terbatas pada rezim pidana. Terdapat tiga rezim yang menjadi landasan: pidana, administrasi, dan perdata. Khususnya, konsep Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture dalam rezim perdata adalah terobosan hukum yang fundamental untuk memastikan aset hasil kejahatan dapat direbut kembali oleh negara tanpa harus terikat pada proses pidana yang berlarut-larut," jelas Prof. Narendra Jatna.

Selanjutnya, JAMDATUN memberikan catatan kritis terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. Dia menyoroti bahwa RUU tersebut berpotensi misleading dan Pasal 9 ke atas mengadopsi pendekatan Amerika Serikat dan Australia sebelum revisi yang dinilai berpotensi abusive. RUU ini juga menggunakan teori pembuktian unexplained wealth (seharusnya untuk insentif pajak) alih-alih illicit enrichment, yang dikhawatirkan memiliki potensi penyalahgunaan.

Menutup kuliah umum, Prof. Narendra Jatna menegaskan peran sentral Kejaksaan dalam pemulihan aset melalui fungsi Sita Eksekusi (sebagai lembaga sentral pelaksana putusan), peran Jaksa Pengacara Negara (mewakili Negara dalam gugatan perdata), dan sebagai pelaksana dalam konsep Badan Pemulihan Aset (Asset Tracing, Recovery & Management, Coordination & Assistance).

“Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021, Kejaksaan telah ditempatkan sebagai lembaga sentral yang memegang fungsi sentral 'dominus litis' dalam konteks pemulihan aset, khususnya pada tahap sita eksekusi. Kami juga menyarankan agar RUU Perampasan Aset ke depannya lebih mengedepankan pendekatan 'illicit enrichment' agar tidak berpotensi abusive dan menjamin efektivitas penegakan hukum," pungkas Prof. Narendra Jatna.

Bagikan tautan ini

Mendengarkan